Sepanjang jalan menuju rumah, aku mencoba menghubungi putriku karena, tidak biasanya anak berusia sembilan tahun itu menelepon berkali-kali. Akan tetapi, saat ditelepon balik, dia mungkin sudah tidur, sehingga tidak mengangkat telepon. Namun, aku masih penasaran, mengapa Nadia tadi menghubungiku? Tak mau mati penasaran, kupercepat laju kendaraan yang sedang kukemudi. Benakku penuh dengan tanya. Sebenarnya apa yang terjadi pada Nadia? Mengapa aku begitu gelisah?
Butuh waktu lima belas menit untuk bisa memarkirkan kendaraan beroda empat itu tepat di depan rumah. Aku segera turun dan membuka pintu rumah berlantai dua itu. Seperti biasa, Nadia pasti tidur di sofa yang ada di ruang tamu untuk menungguku. Tanpa selimut yang melekat di tubuhnya, ia tidur dengan memeluk bantal sofa.
"Mama pulang, Nak," bisikku sambil mengecup keningnya.
Aku segera menggendong anak itu menuju ke kamarnya yang berada di lantai dua. Tampaknya ia lupa menutup jendela kamar. Hawa dingin begitu terasa sampai bulu kudukku meremang. Segera aku membaringkannya di ranjang dan melekatkan selimut di seluruh tubuhnya.
"Sudah dua minggu Nadia selalu lupa menutup jendelanya," ucapku sambil berjalan ke jendela untuk menutupnya.
Rasa lelah merasuk seluruh tubuhku. Sepertinya diri ini tak mampu berjalan ke bawah dan tidur. Akhirnya, aku memutuskan untuk tidur di kamar Nadia. Mata yang baru terpejam beberapa detik langsung terbuka kembali saat terdengar bunyi ketukkan jendela yang keras.
Perlahan aku bangun dan melangkah ke jendela untuk memastikan keadaan jendela. Namun, aku tak menemukan apa-apa. Mungkin ini hanya perasaanku akibat terlalu lelah.
Aku kembali beristirahat dan kali ini tak ada gangguan apa-apa. Sampai pagi ketika aku bangun, sekali lagi aku mengecek di jendela, aku menemukan jejak kaki di balkon. Ternyata benar, tadi malam ada orang yang datang di jendela putriku.
"Ma, Mama lihat apa di jendela?" tanya Nadia.
"Enggak lihat apa-apa, kok, Sayang," jawabku. "Oh iya, kamu kenapa semalam telepon Mama berkali-kali?"
"Habisnya Mama pulangnya kelamaan, sih, makanya aku mau cek keadaan Mama."
"Mama pikir kamu kenapa-kenapa di rumah."
"Enggaklah, Ma. Sekarang Nadia 'kan udah besar. Jadi enggak takut lagi kalau sendirian."
Cukup lega aku mendengar penuturan putriku. Aku lalu menuju ke dapur bersamanya dan membuat sarapan pagi. Aku melihat kondisi dapur yang tertata rapi. Piring pun tak ada yang kotor.
"Kemarin kamu enggak makan?"
"Aku makan, kok, Ma."
"Kamu yang cuci piring?"
"Bukan, Ma."
Aku mengerutkan keningku, karena heran dengan penuturan anaknya. "Terus siapa yang bersihin dapur?"
Nadia membungkam dan tak berani menjawab. Entahlah. Aku pun tak tahu apa yang sebenarnya disembunyikan olehnya. Gelagatnya yang aneh membuat aku memutuskan untuk tidak bekerja hari ini.
Aku menemani Nadia bermain dan memasak bersamanya. Ia tampak bahagia dan dia berpesan agar aku bisa selalu ada waktu luang seperti ini.
Ketika rembulan mulai memancarkan sinarnya di langit, Nadia bersamaku ke kamar. Ia terlihat begitu lelah dan matanya sudah sayup-sayup.
"Ma, temenin Nadia tidur, ya," pinta Nadia.
"Iya, Sayang."
Nadia yang baru saja memejamkan mata langsung tertidur dengan begitu nyenyak. Sementara aku yang masih penasaran, langsung beranjak dari kasur menuju ke jendela.
Aku tampak terkejut dengan pemandangan yang ada di hadapanku. Ketukkan jendela pun sama sekali tak digubris olehku.
"Siapa kamu?!"
Sosok yang mengenakan pakaian serba hitam melempar kaca jendela dengan batu hingga pecah. Ia lalu masuk dan mendekat ke arahku. Dari matanya sangat familier, tetapi siapa dia?
Aku menarik topeng yang menempel di wajahnya dan saat kulihat rupanya, ternyata dia adalah pria yang sebentar lagi akan menjadi mantan suamiku.
"Kejutan." Ia tersenyum simpul sambil menatapku.
"Arga!" teriakku.
Aku mendorongnya hingga ia terjatuh di lantai dan segera menggendong Nadia, tetapi langkahku dicegat hingga aku terjatuh. Kali ini pria itu mengambil sesuatu di sakunya. Aku tak tahu apa yang akan ia lakukan terhadapku.
"Jangan takut. Aku hanya ingin kita memperbaiki semuanya dari awal. Berikan aku kesempatan. Apa kau tidak peduli dengan Nadia anak kita? Jangan egois, Mevi."
Aku terdiam sejenak dan tak mau melihat wajahnya.
"Aku sudah jelaskan padamu bahwa mereka hanya menjebakku waktu aku terkunci di kantor bersama sekertarisku. Kalau aku punya hubungan dengan perempuan itu, mana mungkin aku selalu datang dan menemui Nadia lewat jendela? Untung jendela Nadia tidak terpasang teralis dan anak itu selalu membuka jendela saat aku mengetuknya. Kali ini tolong percaya padaku. Jika kamu mau kita memulai dari awal, kenakan kembali cincin yang kamu lepas sebulan yang lalu."
Aku sebenarnya sudah tahu semua kebenarannya dan aku tak mau berpisah dengannya. Benar katanya, aku egois. Tak bisa dipungkiri bahwa rasa cinta itu masih ada dan Nadia juga butuh kasih sayang seorang ayah.
Perlahan jemariku mengambil cincin yang ada di tangannya dan aku mengenakan kembali. Kecupan pun mendarat di keningku dan seketika wajahku memerah.
"I love you," ucap Arga.
"Hore! Papa dan Mama udah kembali bersatu!" Nadia terbangun dan melompat di kasur.
"Ternyata kamu pura-pura tidur, ya."
"Iya, Ma. Ini 'kan rencana aku sama Papa," ucap Nadia.
Aku hanya menggeleng karena tak menyangka mereka bisa bekerja sama. Namun, aku bersyukur karena keluargaku kembali utuh.
Selesai.
Wah Menarik Skali Critanya.
ReplyDeleteCeritanya menarik dan sangat bagus
ReplyDelete