Jelang pagi, anak-anak itu, memasuki hutan hinaan dengan memanggul ketakutan, kegelisahan dan setengah keberanian.
Di sebelah batu kekuasaan rumah mereka mati lampu. Atap-atapnya di hujani hujatan. Tempat cinta tumbuh itu telah menjelma makam tanpa jenazah.
"Ini malam yang baik untuk mati. Sebagai penjahat atau pahlawan, kau akan tetap tersebut."
Kegilaan-kegilaan bermain-main dengan ajal. Waktu senada dusta memainkan ilusi di kepala yang belum matang itu. Anak-anak itu sesekali saling tersenyum pahit sebagai kutuk terhadap zaman yang jahanam itu.
Evolusi ribuan tahun menjadi percuma dalam satu hempasan badai amarah. Kini anak-anak itu paham, sejarah telah membohongi mereka. Tidak ada yang betul-betul menjadi manusia. Yang tersebut sebagai manusia adalah kepura-puraan atas kegagalan-kegagalan itu sendiri.
Batu itu tetap kokoh. Pun hutan maupun hujan. Yang berubah, hanya kaki-kaki kecil yang sedang mencari pijakan dengan gemetaran sambil menentukan arah dan langkah selanjutnya.
No comments: