Matahari turun pelan-pelan dan tak ada yang tahu. Bagaimana tidak, gerimis sudah menguyur kota karang sejak siang. Ini november yang benar-benar basah. Yah, basah. Hujan tak pernah absen seharipun dan tak juga menghayutkan beberapa pilu, malah menyuburkannya menjadi luka yang semakin sakit. Begitulah kira-kira yang Aris rasakan.
Ia duduk di sudut kamar, membenamkan kepalanya diantara kedua lututnya, seperti ada keengganan untuk menatap apa yang ada di sekitarnya atau sedang terjadi. Aris benar-benar merasa tak berdaya. Bagaimana tidak, skripsi yang sudah disusun tiba-tiba ditolak dan Ia diminta mengganti judul. Di sisi lain, sifatnya yang keukeh tak ingin meminta maaf pada orangtuanya sebelum mendapatkan gelarnya, membuat Dian memutuskan mengambil cuti lebih awal dan kembali ke kediaman orangtuanya guna mempersiapkan prorses kelahirannya.
Dalam kondisi tidak bagus ini, Aris menjadi semakin depresi ketika memikirkan Dian yang sebentar lagi lahiran dan Ia tak memiliki apa-apa. Semenjak kepergian Dian seminggu lalu, Ia lebih banyak mengurung diri. Banyak pertanyaan yang tiba-tiba menjadi sangat sulit untuk Ia jawab. Apakah kau sanggup mendapat gelarmu? Ini sudah semester 13? Apa yang sudah kau siapkan untuk proses lahiran dian? Ini anak pertama masa semua di tanggung Dian dan keluarganya? Apakah kau harus minta maaf? Dimana harga dirimu sebagai laki-laki?. Ini adalah rentetan pertanyaan yang sejak matanya terbuka, selalu hilir mudik di kepalanya. Ia bahkan tak ingin bangun dari tidurnya untuk menghindari pertanyaan-pertanyaan itu.
Sore itu, tiba-tiba Aris mengingat pertama kali Dian memberitahu soal kehamilannya. Airmata menetes perlahan di pipinya dengan senyuman kecut.
"Saya harus berbuat sesuatu." Tegasnya pada diri sendiri.
"Minimal saat saya punya anak lahir saya punya sedikit pegangan." Setelah berucap pelan demikian Ia bangkit dari duduknya, mengambil jaket kumalnya lalu keluar. Tak lupa ia mengunci pintu kamarnya.
Soal skripsi bisa Ia kerjakan di malam hari. Aris berjalan tanpa tujuan. Ia lupa mempertimbangkan pekerjaan apa yang akan ia dapat dengan sore hari seperti ini.
"Kau mau ke mana?"tanya Meki yang mendapati Aris dalam perjalanannya ke pasar ikan
"Ehh... bung. Saya ada jalan-jalan saja" jawab Aris sekenanya
"Sibuk apa sekarang?"
"Tidak"
"Kalau begitu naik ikut saya" perintah meki
"Ke mana?"
"Ikut saja"
Tanpa banyak tanya Aris menurut saja. Meki membawanya ke pasar ikan tempatnya bekerja. Tak sampai 20 menit, mereka telah tiba. Meki membawanya menemui bosnya.
"Bos, ini saya punya teman. Mungkin dia biasa bantu-bantu di sini. Kemarin kan bapa Luka dengan Jeri keluar, kalau saya dengan Teos sendiri kerja, berat bos." Terang Meki panjang lebar.
Sejenak yang dipanggil bos memperhatikan Aris.
"Ya sudah, kau jelaskan pekerjaan apa yang harus dia kerjakan"
"Siap, bos"
"Bayarannya sama dengan kau dan teos."
"Makasi, bos" sambung Aris
"Kamu dua pergi minum kopi di warung sana, supaya sedikit lagi kerja." Sambung sang bos.
Aris dan Meki berjalan ke arah warung. Ketika tiba, Meki memesan 2 piring nasi ayam dan 2 gelas kopi dan rokok untuk Aris. Aris yang melihat itu spontan menegur Meki karena tidak memiliki uang untuk membayar.
"Kau tenang saja, ini semua nanti bos yang bayar." Jelas Meki
Lalu mereka makan sambil Meki menjelaskan pekerjaan yang akan mereka lakoni. Aris tak banyak bertanya. Ia hanya sedikit dilema karena pekerjaan di lakukan dengan malam hari. Waktu untuk mengerjakan skripsi akan tersita. Ditambah aris sadar bahwa ia lemah jika mengerjakannya dengan siang hari. Ia sulit berkonsentrasi jika ada keributan. Namun ia meyakinkan dirinya bahwa ia bisa.
"Saya sudah dengar dari bapa. Saya hanya bisa bantu ini." Meki membuka percakapan sambil menyeduh kopinya.
"Dengar apa?"
"Soal Dian."
Aris menarik nafas dalam. Ia tak menyangka jika ayahnya masih mengikuti perkembangan dirinya sejak kejadian itu.
"Bagaimana kau punya kuliah?" Tanya Meki. Sebagai orang yang sekampung, Meki cukup mengenal Aris dengan baik. Ia tahu, meski dalam keadaan terpuruk Aris tetap akan mengupayahkan yang terbaik.
"Seharusnya ini semester ujian. Tapi itu sudah. Dosen pembimbing suruh ganti judul."
"Nah,,, kalau kerja begini kapan kau kerja?"
"Aman... kan siang saya bisa kerja skripsi, malam kerja di sini."
Meki melihat Aris dengan perasaan iba. Ia tahu betapa rumitnya kisah Aris.
"saya ke tidak sabar tunggu Dian melahirkan." Ucap aris sambil menyulut rokok
"Kira-kira adi bayi punya muka mirip siapa nanti?" Lanjut Aris sambil tersenyum
"Kalau bukan mirip kau berarti mirip dian. Kan kamu punya anak. Masa mirip orang lain?" Jawab Meki dengan nada bercanda
Lalu keheningan menghinggapi mereka. Aris sibuk dengan pikiran-pikirannya dan meki sibuk berusaha menempatkan diri pada posisi Aris. Keduanya tenggelam dalam pikiran masing-masing. Sampai pada akhirnya Meki menyerah. Ia merasa tak akan sanggup berada di posisi Aris.
"Dian punya kabar bagaimana?" Tanya Meki
"Dia cuti. Sudah 6 bulan. Dia punya orangtua mau dia fokus jaga kesehatan menjelang lahiran."
"Jadi sekarang dia di mana?"
"Rumah orangtuanya" jawab aris sambil kembali menyeduh kopinya. tegukan yang dipaksakan untuk menelan kegetiran dari jawaban yang baru saja ia lontarkan. Ia merasa seperti laki-laki yang tak bertanggung jawab.
"Apa tidak sebaiknya kau minta maaf di kau punya bapa? Setidaknya mereka bisa bantu sedikit kalau kau kembali." Usul Meki
Aris tak langsung menjawab. Ia memainkan rokok di tangannya sejenak. Ia teringat permintaan Dian yang persis seperti yang di ungkapkan Meki.
"Itu pasti. Tapi bukan sekarang. Saya tidak akan pergi sebelum ada gelar."
"Orang tua pasti mau hadir saat cucu mereka lahir. Apalagi ini cucu mereka yang pertama" sambung Meki
Aris tak dapat membantah kata-kata Meki. Ia sadar akan hal itu. Namun baginya, ia akan kehilangan harga dirinya jika pulang tanpa membawa hasil apapun.
"Kau jangan terlalu keras dengan diri sendiri." Tukas Meki.
Aris hanya menatap Meki dengan tatapan kosong. Ia tahu bahwa yang dikatakan Meki benar adanya. itu pula yang menjadi harapan Dian. Namun ia tak bisa membohongi dirinya, bahwa ia sangat membenci kekalahan. apalagi kalah pada keadaan.
***********
Editor: Thomas Edison/SP
No comments: