KISAH MAMA SALOMI SAE, PEREMPUAN HEBAT DI TENGAH KELAPARAN
Kisah Perempuan Hebat di Tengah Kelaparan (Oleh : Piet A. Tafuli)
Rintik hujan timur masih terus
mengguyur. Rutin seperti tahun-tahun sebelumnya. Sejak selasa
kemarin masih turun bersama kabut
tebalnya. Sudah 3 hari hujan, dan Amanatun masih ada
dalam rintik dan kabut tebal.
Aktivitas masyarakat seakan lumpuh, hanya sekedar berputar antara
bangun tidur, makan, lalu kembali
larut dalam tidur hingga malam.
Bagi sebagian orang, hujan memang
membawa berkat, bisa berkelimpahan air dan tanaman menjadi subur. Namun, bagisebagian
orang lain, hujan ini menyiksa raga dan batin. Menyiksa para pengelana yang
biasanyaberkeliaran kini harus menghabiskan waktu di kamar.
Sore ini cuaca akhirnya agak
cerah. Masih ada rintik namun sudah tak sederas kemarin. Tiga hari mengunci
diri dalam kamar cukup membosankan bagi saya, karena itu saya putuskan untukberkunjung
ke rumah nenek, sang perempuan hebat bagi kami yang bernama Salomi Sae. Lima belas
menit di atas sepeda motor dan berjuang dengan rintik air hujan dan lumpur,
saya akhirnyatiba di lopo keluarga besar Tafuli. Seperti kunjungan biasanya,
kehangatan sapaan mama Esa ,mama Nelci dan yang lain langsung menyegarkan jiwa
saya, seakan menyapu rasa rindu yangbeberapa hari ini menggebu.
Nenek Salomi yang kini diusia lanjut,
sedang tertidur di atas tempat tidur yang ada di Lopo (Lumbung) keluarga. Deru motor saya membangunkan beliau dari
tidurnya. Saya lalu menyapabeliau dan mengambil saku saku sirih pinang (alu)
yang selalu setia mendampingi beliau. Suatu kebiasaan orang timor yang masih
terus lestari. Suguhan sirih pinang seakan jadi pelancar segala komunikasi.
Sambil mengunyah sirih pinang saya bertanya tentang kondisi nenek. Di usia senjanya
ini ada dua jenis penyakit yang paling sering beliau keluhkan yaitu sakit perut
atau sariawan. Setelah bertanya pada nenek dan berbicang dengan mama esa, nenek
mulai bercerita.
Salah satu kebiasaan nenek adalah
berceritera pada Setiap cucu atau anak yang datang. Ada banyak hal yang beliau
ceriterakan. Terkadang beliau berceritra tentang ternak, atau kadang tentang
pergumulannya menyekolahkan anak-anaknya. Setiap anak atau cucu yang datang
akan selalu disambut dengan ceritera hangat beliau seperti yang saya dapati
sore ini.
Sore ini nenek kembali bercerita
tentang perjuangannya melawan kelaparan di tahun 1961-1985. “Masa itu memang
susah”. Nenek mengawali ceritanya “Jagung sangat susah, tidak ada ubi, pisang
bahkan daun papaya pun tidak ada. Kalau mau makan daun papaya harus tukar
dengan ubi kapas yang dibakar atau petatas. Terkadang anyaman nyiru atau tikar
juga dijadikan alat tukar”. Sambung Nenek, lalu beliau terdiam lama seakan mengenang
kembali. Saya ikut larut dalam cerita nenek. Lama kami terdiam. Lamuan kami
terganggu. mama Nelci yang biasanya ada di lopo menyuguhkan kopi. Kami pun
menyambut suguhan kopi dan jagung bunga yang ada.
Sambil
menikmati kopi, bayangan saya kembali larut dalam cerita nenek. Saya
membayangkan bagaimana nenek bisa memberi makan 10 orang anak kandung dan 3 orang
anak angkat tanpa jagung atau pisang di tengah kelaparan waktu itu? Bayangan
saya buntu.
Rasa penasaran memaksa saya
bertanya pada nenek “Kalau jagung atau pisang tidak ada, nenek dan anak-anak makan
apa?” Nenek Salomi lalu melanjutkan cerita “Dulu memang jagung tidak ada. Tapi
ada talas, biasanya dibakar atau direbus. Selain talas ada juga sagu. Sagu
biasanya direbus untuk bisa langsung dimakan, atau bisa di cincang tipis untuk
di jemur lalu nanti ditumbuk untuk dibakar dengan campuran kelapa. Selain sagu
dan talas ada beberapa tumbuhan liar seperti arbila dan buah palma. Cara
mengolahnya memang sulit, tapi mau bagaimana.”
Nenek salomi terdiam cukup lama
lalu kemudian meneguk kopi yang telah disuguhkan. “waktu itu, makanan memang susah,
jagung tidak ada apalagi beras seperti sekarang”. Sambung perempuan hebat ini.
“Kalau daging kita dulu punya banyak ternak. Sapi memang beberapa ekor saja
tapi babi dan kambing cukup banyak. Kadang dalam 1 minggu bisa bakar 2 atau 3
ekor babi untuk bisa makan dengan sagu.” Saya terdiam cukup lama mendegarkan
cerita nenek. Angan saya terus bergemuruh bersama kontra kondisi ini. Bagaimana
seorang perempuan tunggal ini bisa melewati masa kelaparan itu dengan beban 10
orang anak.
Dari kisah tanta paling sulung selain mereka 10 bersaudara, ada
beberapa orang lagi yang tinggal menetap di lumbung nenek dan juga beberapa anak
yang diangkat. “Lumbung kita tidak pernah sepi” tanta sulung berkata sambil
menerawang jauh seakan mengajak saya larut pada kondisi masa itu.
Senja kini bergeser berganti
malam. Saya berpamitan pada nenek untuk pulang ke rumah. Deru motor dalam gelap
malam seakan berpacu bersama gejolak batin saya. Saya masih larut pada bayangan
kondisi masa itu. Hingga akhirnya saya ada pada suatu kesimpulan “Salomi Sae, perempuan
hebat di tengah kelaparan.”
Penulis : Piet A. Tafuli, Guru Bahasa Inggris di SMA Negeri Ayotupas, Kec. Amanatun Utara, Kabupaten Timor Tengah Selatan
Editor : Thomas Edison/SP
Kisah Perempuan Hebat di Tengah Kelaparan (Oleh : Piet A. Tafuli)
Reviewed by Sahabat Penulis
on
July 02, 2022
Rating: 5
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
No comments: