Cerita Legenda Nifu Manu Opat (Oleh : Semuel Radja Pono)


Cerita ini merupakan legenda yang berasal dari Masyarakat dawan tepatnya suku Mollo yang berdomisili dibawah kaki gunung bikekneno, sekarang ini Kecamatan Nunbena Kabupaten Timor Tengah Selatan, tepatnya di Desa Nunbena Dusun Nifu. Cerita ini dituturkan oleh para pemangku adat dan tetua dari kampung tersebut, salah satunya adalah Almarhum Bapak Matheos Oematan dan dinarasikan oleh Semuel Radja Pono, S.Pd guru Bahasa Indonesia di SMA Negeri Nunbena.
Sebermula cerita ini yaitu pada dahulu kala masyarakat dawan atau yang dikenal dengan istilah atoin meto mendiami sebuah daerah yang berada di pedalaman pulau timor, letaknya di sebuah lembah yang berada dibawah kaki gunung bikekneno. Kehidupan Masyarakat yang berada di kampung itu hidup dalam ketentraman dan memiliki tingkat kerukunan yang tinggidan menjadi dasar kehidupan sosial masyarakat tersebut.

Pada waktu itu kehidupan dari Masyarakat di kampung tersebut bergantung hidup dari bercocok tanam secara berpindah-pindah dan berburu binatang hutan seperti babi, rusa, ayam hutan dan sapi hutan sebagai sumber makanan mereka hiri lepas hari. Kekayaan alam yang berlimpah menjadi surga untuk memanjakan masyarakat di kampung tersebut. Gunung dan hutan memberikan madu dan susu untuk kenyamanan mereka, bahkan tanah tempat mereka berpijak tak pernah berhenti melahirkan kesuburan demi kehidupan yang tentram dan indah.

Dikampung tersebut tinggallah seorang bapak bersama tiga orang saudaranya, satu pria dan dua Wanita. Bapak ini dikenal dengan nama bapak Tsae Nasa Koto.bapak Tsae memiliki warna kulit yang tidak sama dengan warna kulit masyarakat pada umumnya, dimana warna kulit bapak Tsae memiliki bintik-bintik atau berbelang yang dimana dalam bahasa dawan dikeal dengan kata “Koto”. Pada suatu kali bapak Tsae hendak memperbaiki atap lopo mereka yang yang rusak dengan menggunakan alang-alang sebagai penutup atap yang rusak. Lopo merupakan rumah khas orang Timor yang berbentuk bulat yang dibuat menggunakan alang-alang sebagai penutup atap dan dinding nya, yang sering disebut juga dengan nama Ume Kbubu atau rumah bulat.

Oleh sebab itu waktu hari masih remang dan matahari belum juga menujukan wajahnya, bapak Tsae telah pergi ke lereng-lereng gunung bikekneno untuk mengumpulkan alang-alang yang akan digunakan untuk memperbaiki atap rumah yang rusak. Dengan hati yang tentram dan nyaman bapak Tsae mengumpulkan alang-alang tersebut. Setelah dirasakannya bahwa alang-alang nya sudah cukup untuk memperbaiki atap rumah yang rusak maka bapak Tsae pun bergegas kembali ke kampung dengan membawa alang-alang yang telah dikumpulkan tadi.

Setelah ia sampai di kampung matahari telah bersinar dengan gagahnya, para warga telah asik  dalam setiap alur pekerjaan dan aktifitas mereka masing-masing. Begitu tiba dirumahbapak Tsae menaruh alang-alang yang dibawahnyadan segera memanggil ketiga saudaranya untuk mulai melakukan pekerjaan yang akan mereka lakukan. Setelah saudara-saudaranya datang iapun berkata kepada mereka “aim he taleko ume kbubu” yang artinya “mari kita memperbaiki rumah bulat kita”. Setelah itu ia langsung naik keatas bumbungan rumah untuk memperbaiki atap yang rusak sedangkan saudara laki-lakinya yang menyerahkan alang-alang tersebut dari bawah kepada bapak Tsae.

Pada saat itu masyarakat dikampung tersebut belum mengenal pakaian seperti baju dan celana, masyarakat hanya masih menggunakan kain selimaut dan sarung yang dibuat dari kapas sebagai alat penutup tubuh dan aurat mereka. Bapak Tsae yang waktu itu sedang melakukan perbaikan atap rumah juga hanya menggunakan selimut sebagai penutup tubuhnya. Pada saat sedang asik memperbaiki atap rumah yang rusak, tampa disadari oleh bapak Tsae selimut yang digunakannya tersingkap dan auratnya menjadi tontonan masyarakat yang lalu lalang di bawah rumah tempat bapak Tsae memperbaiki rumah. Karena melihat aurat bapak Tsaeyang tidak tertutup, maka jadi riuhlah masyarakat yang ada di tempat itu. Ada yang tertawa dan adapula yang sambil bergurau melakukan candaan kepada bapak Tsae yang berada diatas atap rumah, kata mereka padanya “a koto” yang artinya “loreng”. Karena tidak menyadari apa yang terjadi maka bapak Tsae pun menganggap bahwa hal itu biasa-biasa saja.

Tetapi tidak sama halnya dengan ketiga saudara nya, dimana mereka melihat dan menyadari keadaan yang sedang diriuhkan oleh masyarakat desa pada waktu itu. Karena merasa malu dan tidak enak dengan keadaan tersebut, maka merekapun memanggil dan menyuruh kakak mereka untuk turun dari atap rumah tersebut. Dengan rasa heran bapak Tsae pun turun dari atap rumah dengan segudang pertanyaan ada apa sehingga saudara-saudaranya meminta nya untuk turun dari atap rumah, sedangkan pekerjaan perbaikan belum juga selesai. Ketika ia sampai di bawah iapun langsung menanyakan perihal apa sehingga ia harus turun dari bumbungan rumah, katanya “au saon he moe sa, ije kafe oke fa” yang artinya “mengapa kalian menyuruh saya turun, padahal pekerjaan belum selesai”. Lalu saudara perempuannya memanggilnya kedalam rumah dan menjelaskan kepadanya apa yang sudah terjadi. Setelah saudara perempuannya menjelaskan secara terperinci apa yang terjadi yang menyebabkan kegaduhan di kalangan masyarakat, akhirnya bapak Tsae pun sadar bahwa ia telah melakukan sesuatu yang sangat memalukan dan menjadi bahan tertawaan bagi para masyarakat.

Dengan sedih dan menahan malu yang teramat sangat bapak Tsae pun berkata pada ketiga saudaranya dengan suara bergetar “au maekuk, aim he tpoi ta ko kuan le i” yang artinya “ saya malu, mari kita keluar dari kampung ini”. Dengan sedih mereka berempatpun menangis meratapi keadaan mereka dalam kampung tersebut. Akhirnya mereka pun mulai mempersiapkan segala keperluan dan bekal mereka untuk perjalanan yang akan mereka lakukan pada esok harinya. Ketika mereka telah selesai mempersiapkan segala keperluan mereka untuk bekal perjalanan, bapak Tsae mengajak adiknya laki-laki untuk pergi mengambil air di mata air tempat mereka biasa mengabil air, katanya “aim het nao tait oel, lalit taseon hit pah” yang artinya “mari kita pergi mengambil air, sekaligus pamit pada alam”. Hal ini dilakukan karena masyarakat di kampung itu belum mengenal Tuhan, dan mereka menyembah alam sebagai tuan yang mereka junjung.

Lalu adiknyapun mengambil wadah air yang biasa digunakan untuk mengambil air yaitu foke. Foke merupakan buah dari tanaman hutan yang berbentuk labu yang biasa dikenal dengan nama borbak, yang isinya dapat dikeruk dan kulitnya dapat digunakan sebagai wadah penyimpanan air. Akhirnya bapak Tsae dan adiknya pun pergi ke mata air tempat tujuan mereka. Sesampainya mereka di mata air tersebut, bapak Tsae pun menyuruh adiknya yang masuk dan mengambil air dari tempat yang agak dalam dari mata air tersebut. Kebetulan mata air tersebut keluar dari lubang batu yang berbentuk goa, sehinggsang adik harus masuk sedikit kedalam goa tersebut. Setelah adiknya masuk dan ketinggian air mencapai betis adaknya, maka adiknya menyakan pada kakaknya “tata au sote bi ije kah” yang artinya “kakak, saya ambil aie disini kah” lalu kakanya berseru “ naika, tampiut fe” yang artinya “ jangan, masuk lebih kedalam lagi”.

Hal ini dilakukan adiknya beberapa kali, akan tetapi bapak tsae terus menyuruh adiknya lebih masuk kedalam goa air tersebut. Samapai akhirnya ketinggian air sudah mencapai dada dan adiknyapun berkata “tata au sote bi ije kah”, karena merasa adiknya sudah berda di tengah mata air maka kakanya melakukan sembahan pada alam kata nya “Au feko manu es na maiti ai mutnanab al mufani, au bael oel nok a’taka he au eki noe kuan he au faniau nek maet” yang artinya “Hai tuan, saya memberikan mu ayam sebagai persembahan ku, silahkan diambil, tetapi saya mohon kembalikan tempat air yang saya berikan dan berikanlah tanda darimu, agar dapat kubawah kembali ke kampung supaya dapat membersihkan rasa malu saya dari masyarakat di kampung”. Maka tiba-tiba air itu meluap dan menelan adiknya, hal ini terjadi karena bapak Tsae menyerahkan adiknya kepada alam sebagai seekor ayam persembahan.

Setelah adiknya hilang maka muncullah dari dalam goa tempat air yang tadi dibawah olah adiknya, tetapi didagian dalamdari tempat air itu terdapat air dan tali perut yang merupakan tali perut dari adiknya sebagai tanda bahwa permintaan bapak Tsae telah dikabulkan. Dengan hati-hati bapak Tsae mengambil tempat air tersebutdan segera bergegas pulang. Karena perjalanan yang ditempuh agak sedikit jauh dan haripun telah gelap, maka bapak Tsae pun segera pulang ke kampung. Dalam perjalanan pulang karna kondisi yang gelap dan harus menuruni gunung maka bapak Tsae tersandung pada akar pohon yang menumpahkan sedikit air dalam tempat air yang dibawahnya pada selembar daun kering dihutan tersebut, maka terjadilah sebuah kejadian yang tidak disangkakan oleh bapak Tsae, dimana air yang tadi tumpah meluap menjadi sebuah danau kecil yang sampai sekarang di kenal masyarakat dengan nama “Nifu Lilo”. Melihat kejadian tersebut, bapak Tsae pun melanjutkan perjalan pulang kekampung, tetapi ia lebih hati-hati dalam menjaga tempayan air yang dibawahnya agar tidak tumpah seperti sebelumnya.

Setelah waktu  perjalan akhirnya bapak Tsae pun tiba dikampung, pada saat ia memasuki kampung, masyarakat sudah lelap tertidur dan tidak terlihat setitik kehidupan pun dikampung tersebut. Bapak Tsae pun bergegas kerumahnya, sesampai dirumahnya iapun segera menyimpan foke yang ia bawa tadi kedalam sebuah lesung dengan tujuan agar tidak tumpah dan terlindung dari anjing di perkampungan yang bisa mencium bau darah dari foke tersebut. Setelah ia menyimpan foke tersebut iapun masuk kedalam rumah dan membangunkan kedua saudara perempuannya, katanya “aim het poi ta ko kuan ije, hit nao fen paokit esa nuaf ” yang artinya “mari kita keluar dari kampung ini, adik sedang tunggu kita di gunung” setelah itu mereka berdua bangun dan mengambil perbekalan yang telah mereka siapakan untuk bekal perjalanan mereka dan mengikuti kakak mereka keluar dari kampung itu. Tampa merasa curiga kepada bapak Tsae, mereka berdua berpikir saudara laki-laki mereka yang satu sedeng menanti mereka diatas gunung.

Ditengah perjalanan bapak Tsae memperingatkan kepada kedua saudaranya, apabila terjadi apa-apa dengan kampung kitadan kalian mendengarnya maka kalian tidak menoleh kebelakang untuk melihat kampung kita. Dan kedua saudara nya pun mengangguk tan da mengerti. Mereka bertigapun melanjutkan perjalanan menuju ke puncak gunung bikekneno. Setelah mereka berjalan cukup jauh mataharipun sudah mulai menunjukan tanda-tanda akan muncul menunjukan kedigdayaannya. Kehidupan di perkampungan mulai terasa kehidupannya, anjing-anjing yang berada diperkampungan mulai menyadarai ada aroma daging dan darah yang bisa dijadikan santapan bagi mereka, maka mulailai mereka mencari dengan pnciuman mereka yang tajam. Tidak lama kemudian merekapun menemukan sumber aroma yang dicari, karna anjing-anjing tersebut berusaha untuk menggapai foke yang ada di atas lesung tersebut, akhirnya foke itu jatuh dan meledak. Pada saat foke itu jatuh maka dari dalam foke itu meluaplah air yang sangat besar, yang hanya dalam waktu sekejap saja sudah menenggelamkan kampung tersebut dan segala isinya.

Karena keadaan kampung yang telah tenggelam maka masyarkat kampung itu menjadi riuh, mereka mulai menangis dan berteriak minta tolong, hal in sampai terdengar oleh bapak Tsae dan kedua saudara perempuannya. Karena merasa penasaran apa yang terjadi di kampung mereka maka kedua saudara perempuan nyapun melupakan apa yang telah diperingatkan oleh kakak mereka, maka mereka pun menoleh kebelakang hendak melihat kejadian apa yang membuat para masyarakat berteriak gaduh minta tolong, maka pada saat itu pula mereka berdua berubah menjadi batu, kedua batu yang diyakini oleh masyarakat sebagai patung batu kedua saudara bapak Tsae sampai sekarang masih ada di dekat puncak bikekneno dan dikenal dengan Fatu Feton. Karena kedua saudaranya telah menjadi batu, bapak Tsae pun meratapi dirinya dan berkata “we olif, ua tonan kijen masnansa es hikam pal saifa” artinya “wahai adikku, aku sudah mengingatkan kalian, mengapa kalian tidak percaya”.

Akhirnya dengan sedih bapak Tsae pun melanjutkan perjalanan sampai ke puncak gunung bikekneno. Sesampainya disana di sebuah padang di puncak gunung tersebut, bapak Tsae menancapkan tongkat yang dibawahnya ditanah, dan bapak Tsae pun menyerahkan dirinya kepada alam dan berubah menjadi pohon rambat dan melilit tongkatnya sebagai tumpuan hidupnya. Konon tongkat dan perubahan wujud bapak Tsae yang menjadi cikal bakal hutan bikekneno. Dan danau tempat kampung tersbut tenggelam dinamakan Danau Nifu. Demikianlah legenda nifu manu opat, yang artinya danau yang tercipta dari lilitan perut ayam.

TAMAT!



Editor : Thomas Edison/SP


Cerita Legenda Nifu Manu Opat (Oleh : Semuel Radja Pono) Cerita Legenda Nifu Manu Opat (Oleh : Semuel Radja Pono) Reviewed by Sahabat Penulis on October 17, 2024 Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.