Imbas stigma ini adalah suatu ketakutan. Entah dari mana anggapan itu, hingga kini cerita-cerita menakutkan itu masih hidup (dihidupkan) dan diperbincangkan. Sebagai contoh, suatu ketika waktu saya mengikuti kegiatan Pemuda Tingkat sinode di suatu gereja di Amarasi saya dikelilingi oleh beberapa orang muda yang juga hidup dalam stigma miring akan Amanatun Utara.
Dalam perbincangan ringan ditemani kopi di sore hari, seorang teman dari kupang kemudian bertanya: “Di ayotupas masih ada Teku?“. Saya agak tersentuh dengan pertanyaan ini. Dia kemudian menjelaskan kalau dia pernah mendengar cerita tentang perampokan di siang hari, ada juga cerita tentang orang baru dari tempat lain yang masuk Amanatun lalu hilang (dihilangkan) entah kemana.
Setelah penjelasannya tandas saya menjawabnya dengan ringan “itu dulu, ditahun 1960-1990-an memang begitu, ”dia kemudian melanjutkan, ada kawan pendeta yang waktu penepatan vikariat ditempatkan disana tapi mundur karna takut”. Saya kembali tersentuh.
Cerita ketakutan ini sampai sehidup ini?. Kami kembali tertawa dengan kisah kawan ini. Saya terpaksa harus menjelaskan dengan sedikit bumbu dapur untuk menyenangkan hati mereka tentang Amanatun yang jahat dari luar tapi sulit dilupakan (pulang) kalau sudah tingal disana, bukan karna takut lagi tapi karena betah.
Editor: Thomas Edison/SP
No comments: