Puncak Sunu : Surga Di Atap Amanatun (Oleh : Piet A. Tafuli)


Kepenatan berbagai urusan serasa mengusik batin dan fisik saya. Kesibukan dengan berbagai aktivitas seakan menghisap energi dan semangat saya. Rasanya ingin sejenak berjalan keluar menikmati udara sejuk, sengatan dingin malam dari dalam tenda yang telah lama tersimpan di atas rak buku saya. Kerinduan ini akhirnya terjawab dengan liburan yang cukup panjang setelah kegiatan Ujian Sekolah. 

Siang ini, deru mesin motor saya kembali terpacu. Tidak seperti biasanya ketika deru mesin itu mengantar saya menyelesaikan tugas, kali ini deru mesin yang telah 10 Tahun menemani saya itu sedang mengantar saya berlibur. Saya sengaja memilih Puncak SUNU sebagai tujuan bermalam kali ini. Menjawab rasa rindu pada pesona alam bebas dan sensasi angin malam yang hampir hilang rasanya dari memori saya. 

Perjalanan saya tempuh hampir 3 jam dari Ayotupas menuju Sunu. Menyebrangi sungai, menelusuri punggungan bukit dengan tanjakan berbatu dan sedikit lumpur mewarnai perjalanan saya, namun itu bukan halangan. Sejak dulu ketika masih aktif mendaki, senior-senior saya di HIMPA Whisnucitra selalu mengatakan bahwa sesuatu akan terasa istimewah ketika kita telah berusaha dengan susah payah untuk mendapatkannya. Bekal motivasi ini selalu membawa saya sukses menaklukan ego saya dalam setiap tantangan baik petualangan alam ataupun tantangan kerja.


Perjalanan dengan kendaraan selama 3 jam telah menampakan hasil. Pukul 04:30 WITA saya memasuki batas hutan. Udara sejuk dan hawa dingin menyapa saya. Kabut tipis yang turun menembus pepohonan yang rimbun seakan menambah exotisme alam yang tak dapat dibantah. senyum ramah penduduk desa yang saya temui seakan mengucap salam hangat. Ada kesederhanaan yang terbangun entah kapan. 

Terasa semakin dekat dengan tujuan saya, akhirnya saya memutuskan untuk beristirahat sejenak di Pasar Sunu. Sekedar melepas lelah berkendara dan kontak dengan Pak Gidalti Kamlasi, seorang sahabat yang akan menemani saya di puncak malam nanti. Setelah beristirahat sejenak dan melakukan kontak, saya meneruskan perjalanan ke rumah Pak Dalti. Beliau telah menunggu sejak siang. 

Setibanya di sana, kehangatan cerita Pak Dalti langsung menyambut saya. Saya beristirahat sejenak sambil berbagi cerita dengan Pak Dalti. Cerita paling hangat yang kami bincangkan adalah proses memindahkan patung Presiden Joko Widodo menuju Puncak Sunu. Beberapa minggu terakhir ini memang sedang trend berita tentang patung orang nomor satu di Indonesia yang telah berdiri di Puncak Sunu. Ide patung ini dikemukakan oleh Kolonel Cpl. Simon Petrus Kamlasi untuk mendongkrak potensi wisata alam daerah ini sekaligus meningkatkan kondisi ekonomi masyarakat. Dari cerita Pak Dalti,ada berbagai keseruan yang dialami masyarakat setempat. Ada kebersamaan yang terwujud dalam harmoni.


Senja hampir tenggelam, kami (Saya dan Pak Dalti ) menunda cerita kami dan bergegas menuju puncak mengejar matahari terbenam yang jadi ikon Gunung Sunu. Perjalanan dari rumah tidak memakan waktu lama. Setengah jam meniti jalan menanjak, kami akhirnya tiba di puncak. Patung Sang Pemimpin Indonesia yang berdiri tegak di atas barisan bukit hijau dan menatap lurus ke Barat. Sejenak saya larut dalam suasana.

Kemuning senja seakan berpuisi riang lewat kicau burung dan angin semilir. Rasanya sudah lama sekali tidak mendaki. Kerinduan saya terbayar sudah. Kopi yang kami bawa dituang pada gelas, kami duduk dalam diam sambil memandang ke Barat ditemani kopi. "Sungguh, tidak ada yang lebih nikmat selain kopi, senja dan gunung" saya bergumam memecah kesunyian yang disambung tawa lepas Pak Dalti, lalu kami kembali terdiam menatap sang bola api menuju peraduannya.


Malam itu kami menginap di puncak Sunu. Nasi, mie Instant dan beberapa potong daging menjadi santap malam kami. Ribuan pasang mata sapi mengawasi dari batas terang lampu senter yang kami nyalakan seakan bertanya tentang siapa dan apa kami. Dalam dinginnya hawa malam itu kami saling berbagi cerita. Canda dan tawa bergemuruh bersama lirih suara para serangga malam yang akhirnya masih bersuara hingga mengantar kami tidur.


Kami terbangun Pukul 04.30. Hawa dingin  seakan menembus Sleeping Bag yang kami pakai. Pintu tenda doom terbuka, suguhan Sun Rise yang begitu cerah menyambut kami seakan mengucap Selamat Pagi yang begitu hangat. Kicau burung seakan bersorak menyambut sang surya yang kemuning. Dengan semangat, kamera DSLR yang biasanya rajin bergelantung di pundak saya dikeluarkan. Suguhan alam pagi ini membawaku larut dalam pesona. "Sungguh ini Surga di Atap Amanatun" kata batin saya.  



Penulis : Piet A. Tafuli, S.Pd, Guru Bahasa Inggris di SMA Negeri Ayotupas, dan juga Penjelajah Wisata Alam di Kabupaten Timor Tengah Selatan

Editor : Thomas Edison/SP


Puncak Sunu : Surga Di Atap Amanatun (Oleh : Piet A. Tafuli) Puncak Sunu : Surga Di Atap Amanatun (Oleh : Piet A. Tafuli) Reviewed by Sahabat Penulis on May 11, 2022 Rating: 5

1 comment:

Powered by Blogger.