Kantor bupati, beringinnya lebat sekali, Hawanya tipis, luhurnya tampung di gega-gega terali wajah. Aku membiur, aku bernyanyi, aku ayu, aku lentur di atas remang-remang biru.
"Lako, elo elo matan Ruteng. elo lep ketay, toe sango laku lelon, wa pucu, selek Keta, modis kesa modis".
Sejauh ini, kawah pada mulut, sebagai gahar, aku melibatkan Injil. Panasnya hitung detik, nostalgia dengan bungkusan kain, laksana kopi, berisi sugesti. Aku mengelang-ngelang pada porsi tengah posisi Motang Rua.
"Meseng Hitu, rang lime, lomes weki, li'om retuk one ulu, legit ati werong Wulang loas, ita le Poco, Ita le Awang, Hitu aku Ruteng".
Darahku mengalir, rinduku sampai dipuncak golo. Jalan raya, pangkalan ojek, taman kota, lampu merah, Mbaru Wunut, ku detak-detak detak selang seling .
Usai, aku tertidur pulas. Pangku diantara cemara-cemara hijau, tak lusuh, tapi utuh. Aku pakai sengketa rasa, berkedir dengan bangku-bangku kota. Rayu rayu rayu aku. Bungkus aku dengan sembako usang, bunyi-bunyi klakson kecil, dan juga manusia yang kelakar dengan dirinya. Yang duduk di deker, yang belanja di pasar, konjak, dan juga got-got yang rusak. Semayam lagi, lagi e, tukang gosip, dan juga si sirik . Hhhhhh terlalu lugu, atau tentang kita di belokan kiri dan kanan jalan.
Editor : Thomas Edison/SP
No comments: